Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim pernah menyampaikan, Kurikulum 2013 dibuat untuk menjawab keluhan dan tuntutan masyarakat. Selama ini, jujur diakui oleh mantan Rektor Universitas Andalas (Unand) Padang itu, masyarakat mempertanyakan kompetensi lulusan setiap jenjang pendidikan. Pertanyaannya, bagaimana sekolah melaksanakan Kurikulum 2013 di tengah keluhan dan tuntutan masyarakat itu?
Berdasarkan sejumlah referensi yang terpercaya, kurikulum setidaknya memiliki empat aspek atau komponen penting, yaitu standar kelulusan, standar isi, standar proses pelaksanaan, dan standar evaluasi pelaksanaan. Keempat aspek atau komponen tersebut sepatutnya dilaksanakan secara bersinergi oleh semua pihak, termasuk guru. Tanpa itu, pelaksanaan sebuah kurikulum akan timpang ataupun kurang sesuai dengan hasil yang diharapkan.
Kurikulum 2006, misalnya, dilihat dari standar kelulusan memiliki tiga buah target di dalamnya, yakni pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Sementara itu, Kurikulum 2013 memiliki standar kelulusan yang nyaris sama, yakni sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Makanya, ada pandangan bahwa Kurikulum 2013 bukan kurikulum baru, melainkan revisi kecil atas Kurikulum 2006 yang saat ini (masih) berlaku di sebagian sekolah atau madrasah kita.
Cara Pandang Berbeda
Tim inti pengembangan Kurikulum 2013 memiliki cara pandang berbeda terhadap standar kelulusan siswa. Bagi mereka, target sikap harus didahulukan ketimbang dua target lainnya (keterampilan dan pengetahuan). Jika meminjam teori Bloom, sikap siswa sebagai aspek afektif yang selama ini katanya banyak terabaikan di dalam praktik pembelajaran kita. Harapannya, Kurikulum 2013 dapat mencetak sikap siswa menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Berikutnya, tim inti pengembangan Kurikulum 2013 melengkapi pandangannya di atas dengan wacana pendidikan karakter. Menurut mereka, karakter merupakan bagian dari aspek afektif siswa, dan ini juga banyak terabaikan di dalam praktik pembelajaran. Dalam konteks yang demikian, saya berpendapat bahwa pernyataan Wamendikbud yang juga Guru Besar Unand, Padang, di muka tulisan ini, dapat dipahami secara tepat.
Adalah wajar bila masyarakat kita semakin resah, mengeluh, dan prihatin atas sikap-sikap siswa kita yang cenderung anarkis dan negatif. Aksi-aksi tawuran pelajar, baik di Jakarta maupun di daerah lainnya, tetap terjadi meskipun tidak banyak jumlahnya. Belum lagi lunturnya sopan santun siswa kita dalam berbahasa dan bertingkah laku, baik di rumah maupun di sekolah. Keluhan demi keluhan masyarakat, hemat saya, harus dihentikan dengan segala ikhtiar.
Ikhtiar pertama sekaligus utama ialah dimulai dari lingkungan keluarga. Orang tua semestinya menjadi peletak dasar karakter anak-anaknya. Anak-anak yang beretos kerja tentu lahir dari orang tua yang juga beretos kerja. Demikian pula anak-anak yang hormat terhadap guru tentu lahir dari orang tua yang juga hormat terhadap guru, dan begitu pula sebaliknya. Orang Barat menyebut hal ini dalam ungkapan yang pas: “Like father like sons”.
Setelah lingkungan keluarga, maka ikhtiar kedua ialah dari lingkungan sekolah. Ada benarnya pendapat Mendikbud Mohammad Nuh (2012) bahwa kurikulum sesempurna apa pun tidak akan bisa menjamin kompetensi lulusan yang baik. “Itu juga bergantung pada kualitas guru yang mengajar dan sarana prasarana sekolah,” lanjut-nya. Sebagai guru, saya pun cenderung mengamini sebagian pendapat tersebut.
Hemat saya, kualitas guru menjadi nomor satu dalam hal implementasi kurikulum apa pun, termasuk Kurikulum 2013. Materi ajar boleh saja mirip dengan kurikulum sebelumnya. Namun, metode atau strategi penyampaian materi oleh guru memegang peranan penting di kelas. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, metode atau strategi penyampaian materi oleh guru yang kreatif, dapat memunculkan impresi yang kuat di benak siswa.
Implikasi Metodologis
Dalam istilah lain, materi ajar boleh sama, namun strategi penyampaian materi berbeda kelak menghasilkan pemahaman siswa yang berbeda pula. Ada siswa yang “jatuh cinta” pada mata pelajaran tertentu karena strategi penyampaian materi oleh gurunya. Ada pula siswa yang bosan terhadap mata pelajaran tertentu akibat strategi penyampaian materi oleh gurunya. Jadi, aspek metodologis pembelajaran berimpilkasi luas terhadap siswa dan guru di kelas.
Kurikulum 2013, khususnya mata pelajaran Bahasa Indonesia, perlu saya angkat sebagai contoh. Dalam kurikulum baru itu, pelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks atau genre (genres based). Atas dasar itu, setting pembelajaran bahasa Indonesia di kelas mengharuskan para guru untuk lebih akrab dengan pelbagai teks atau genre. Begitu pula dengan para siswa. Tapi, apakah para guru dan siswa kita sanggup untuk melaksanakannya? Entahlah.
Yang pasti, melalui “kurikulum berbasis teks” (pinjam istilah Wiedarti, 2013), para guru bahasa Indonesia dituntut agar lebih akrab dengan beragam teks atau genre. Keakraban guru-siswa terhadap beragam teks atau genre dapat dibangun dari kegiatan membaca buku, majalah, surat kabar, karya sastra, dan sebagainya. Di sini, argumentasi Mendikbud bahwa sarana prasarana sekolah dapat mendukung pelaksanaan kurikulum dibenarkan.
Untuk itu, keberadaan perpustakaan sekolah perlu dioptimalkan, baik dari segi pelayanan maupun ketersediaan bahan bacaan. Para guru bahasa Indonesia akan cukup senang kala mereka menemukan beragam bahan bacaan di perpustakaan sekolah. Misalnya, guru ingin mengajarkan teks pantun maka buku pantun mestinya tersedia lengkap dan banyak. Saya yakin, ketersediaan bahan bacaan akan sangat menunjang proses pembelajaran di kelas.
Akhirnya, keberhasilan (atau kegagalan) pelaksanaan Kurikulum 2013 ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya ialah guru. Guru yang berakhlak mulia, kreatif, dan inovatif kelak melahirkan siswa yang berakhlak mulia, kreatif, dan inovatif pula. Guru bukanlah satu-satunya aktor keberhasilan pelaksanaan kurikulum di sekolah. Masih ada orang tua dan masyarakat yang juga ikut menopang. Saya bersedia untuk berperan serta di dalamnya, Anda?
Berdasarkan sejumlah referensi yang terpercaya, kurikulum setidaknya memiliki empat aspek atau komponen penting, yaitu standar kelulusan, standar isi, standar proses pelaksanaan, dan standar evaluasi pelaksanaan. Keempat aspek atau komponen tersebut sepatutnya dilaksanakan secara bersinergi oleh semua pihak, termasuk guru. Tanpa itu, pelaksanaan sebuah kurikulum akan timpang ataupun kurang sesuai dengan hasil yang diharapkan.
Kurikulum 2006, misalnya, dilihat dari standar kelulusan memiliki tiga buah target di dalamnya, yakni pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Sementara itu, Kurikulum 2013 memiliki standar kelulusan yang nyaris sama, yakni sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Makanya, ada pandangan bahwa Kurikulum 2013 bukan kurikulum baru, melainkan revisi kecil atas Kurikulum 2006 yang saat ini (masih) berlaku di sebagian sekolah atau madrasah kita.
Cara Pandang Berbeda
Tim inti pengembangan Kurikulum 2013 memiliki cara pandang berbeda terhadap standar kelulusan siswa. Bagi mereka, target sikap harus didahulukan ketimbang dua target lainnya (keterampilan dan pengetahuan). Jika meminjam teori Bloom, sikap siswa sebagai aspek afektif yang selama ini katanya banyak terabaikan di dalam praktik pembelajaran kita. Harapannya, Kurikulum 2013 dapat mencetak sikap siswa menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Berikutnya, tim inti pengembangan Kurikulum 2013 melengkapi pandangannya di atas dengan wacana pendidikan karakter. Menurut mereka, karakter merupakan bagian dari aspek afektif siswa, dan ini juga banyak terabaikan di dalam praktik pembelajaran. Dalam konteks yang demikian, saya berpendapat bahwa pernyataan Wamendikbud yang juga Guru Besar Unand, Padang, di muka tulisan ini, dapat dipahami secara tepat.
Adalah wajar bila masyarakat kita semakin resah, mengeluh, dan prihatin atas sikap-sikap siswa kita yang cenderung anarkis dan negatif. Aksi-aksi tawuran pelajar, baik di Jakarta maupun di daerah lainnya, tetap terjadi meskipun tidak banyak jumlahnya. Belum lagi lunturnya sopan santun siswa kita dalam berbahasa dan bertingkah laku, baik di rumah maupun di sekolah. Keluhan demi keluhan masyarakat, hemat saya, harus dihentikan dengan segala ikhtiar.
Ikhtiar pertama sekaligus utama ialah dimulai dari lingkungan keluarga. Orang tua semestinya menjadi peletak dasar karakter anak-anaknya. Anak-anak yang beretos kerja tentu lahir dari orang tua yang juga beretos kerja. Demikian pula anak-anak yang hormat terhadap guru tentu lahir dari orang tua yang juga hormat terhadap guru, dan begitu pula sebaliknya. Orang Barat menyebut hal ini dalam ungkapan yang pas: “Like father like sons”.
Setelah lingkungan keluarga, maka ikhtiar kedua ialah dari lingkungan sekolah. Ada benarnya pendapat Mendikbud Mohammad Nuh (2012) bahwa kurikulum sesempurna apa pun tidak akan bisa menjamin kompetensi lulusan yang baik. “Itu juga bergantung pada kualitas guru yang mengajar dan sarana prasarana sekolah,” lanjut-nya. Sebagai guru, saya pun cenderung mengamini sebagian pendapat tersebut.
Hemat saya, kualitas guru menjadi nomor satu dalam hal implementasi kurikulum apa pun, termasuk Kurikulum 2013. Materi ajar boleh saja mirip dengan kurikulum sebelumnya. Namun, metode atau strategi penyampaian materi oleh guru memegang peranan penting di kelas. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, metode atau strategi penyampaian materi oleh guru yang kreatif, dapat memunculkan impresi yang kuat di benak siswa.
Implikasi Metodologis
Dalam istilah lain, materi ajar boleh sama, namun strategi penyampaian materi berbeda kelak menghasilkan pemahaman siswa yang berbeda pula. Ada siswa yang “jatuh cinta” pada mata pelajaran tertentu karena strategi penyampaian materi oleh gurunya. Ada pula siswa yang bosan terhadap mata pelajaran tertentu akibat strategi penyampaian materi oleh gurunya. Jadi, aspek metodologis pembelajaran berimpilkasi luas terhadap siswa dan guru di kelas.
Kurikulum 2013, khususnya mata pelajaran Bahasa Indonesia, perlu saya angkat sebagai contoh. Dalam kurikulum baru itu, pelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks atau genre (genres based). Atas dasar itu, setting pembelajaran bahasa Indonesia di kelas mengharuskan para guru untuk lebih akrab dengan pelbagai teks atau genre. Begitu pula dengan para siswa. Tapi, apakah para guru dan siswa kita sanggup untuk melaksanakannya? Entahlah.
Yang pasti, melalui “kurikulum berbasis teks” (pinjam istilah Wiedarti, 2013), para guru bahasa Indonesia dituntut agar lebih akrab dengan beragam teks atau genre. Keakraban guru-siswa terhadap beragam teks atau genre dapat dibangun dari kegiatan membaca buku, majalah, surat kabar, karya sastra, dan sebagainya. Di sini, argumentasi Mendikbud bahwa sarana prasarana sekolah dapat mendukung pelaksanaan kurikulum dibenarkan.
Untuk itu, keberadaan perpustakaan sekolah perlu dioptimalkan, baik dari segi pelayanan maupun ketersediaan bahan bacaan. Para guru bahasa Indonesia akan cukup senang kala mereka menemukan beragam bahan bacaan di perpustakaan sekolah. Misalnya, guru ingin mengajarkan teks pantun maka buku pantun mestinya tersedia lengkap dan banyak. Saya yakin, ketersediaan bahan bacaan akan sangat menunjang proses pembelajaran di kelas.
Akhirnya, keberhasilan (atau kegagalan) pelaksanaan Kurikulum 2013 ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya ialah guru. Guru yang berakhlak mulia, kreatif, dan inovatif kelak melahirkan siswa yang berakhlak mulia, kreatif, dan inovatif pula. Guru bukanlah satu-satunya aktor keberhasilan pelaksanaan kurikulum di sekolah. Masih ada orang tua dan masyarakat yang juga ikut menopang. Saya bersedia untuk berperan serta di dalamnya, Anda?
0 comments:
Post a Comment
Cara berkomentar : klik Comment as di atas dan pilih Name/URL. Dan isi nama anda. Lalu klik Continue dan klik Publish. Selesai !